Petualangan Seni di Hutan Kasuarina: Belajar Instalasi dari Alam

Pagi itu, langit biru membentang luas di atas Hutan Kasuarina yang tenang. Udara segar menerpa wajah para siswa Akademi Etika Lingkungan (AEL) yang berbaris rapi dengan semangat menyala di mata mereka. Hari ini, mereka akan belajar langsung dari alam—membuat instalasi seni dari bahan-bahan alami!

Dipandu oleh seorang ahli instalasi seni yang sudah terkenal karena karyanya yang terinspirasi dari alam, Alinsyah, para siswa siap menjelajahi sisi kreatif mereka. Namun sebelum mereka menyentuh ranting atau menggenggam daun, Alinsyah mengajak mereka untuk melakukan observasi. “Karya seni yang baik lahir dari pengamatan yang tajam,” katanya sambil tersenyum. Setiap siswa pun dibekali alat pengamatan seperti binocular dan kaca pembesar. Mereka terlihat antusias mengamati burung di dahan pohon, serangga kecil yang merayap di tanah, hingga bunga-bunga yang bermekaran liar.

Setelah pengamatan selesai, para siswa diminta membentuk kelompok. Satu kelompok terdiri dari dua orang—sebuah strategi yang cerdas agar mereka bisa saling bekerja sama, berdiskusi, dan menyatukan ide. Riuh rendah terdengar saat mereka memilih pasangan. Tawa dan canda mewarnai suasana pagi yang ceria itu.

“Sekarang, teman-teman akan membuat instalasi seni dari bahan yang tersedia di sekitar kita,” kata Alinsyah, “Tapi ingat, temanya adalah hewan atau tumbuhan yang di temui tadi. Buat sesuai dengan imajinasi teman-tema, dan pastikan hanya menggunakan bahan alami ya!”

Dengan semangat, para siswa mulai memilih lokasi yang tepat. Menariknya, mereka tidak asal pilih. Ada yang memilih lokasi di dataran karena ingin membuat ikan yang “berenang” di tanah rata, ada pula yang memilih tanah bergunduk untuk membuat elang. Setiap sudut hutan seolah menjadi panggung seni yang menunggu untuk dihias.

Mulailah mereka mengumpulkan bahan. Daun-daun kering, ranting-ranting kecil, kulit pohon, biji kasuarina, buah kasuarina yang unik bentuknya, hingga cangkang kerang—semuanya dikumpulkan dan diolah menjadi karya. Ada yang membentuk ular panjang dari ranting dan kulit kayu, ada yang menyusun peta Sumatera dari potongan ranting-ranting dan batu kecil. Bahkan ada kelompok yang membuat T-Rex dari kulit pohon dan ranting, membuat teman-temannya terpukau.

Dalam waktu satu jam, lantai hutan Kasuarina yang semula polos berubah total menjadi galeri seni terbuka yang luar biasa. Warna coklat tanah menjadi latar sempurna bagi instalasi bunga berwarna cerah, elang dari ranting yang seolah siap terbang, dan peta-peta unik yang menggambarkan pulau Sumatera dengan detail mengagumkan.

Tiba saatnya untuk presentasi. Setiap kelompok berdiri di depan karya mereka, menjelaskan makna, proses, dan inspirasi dari instalasi yang dibuat. Teman-teman lain mendengarkan dengan antusias, bertanya dengan penasaran, dan memberikan komentar yang membangun. Yang paling mengharukan adalah saat mereka saling memberi bintang pada karya satu sama lain—tanda penghargaan dan pengakuan atas usaha dan kreativitas.

Kegiatan ini bukan hanya soal seni. Selama proses, para siswa belajar banyak hal penting: kerja sama, keberanian untuk berbicara di depan umum, berpikir kreatif, dan tentu saja menghargai alam. Mereka juga belajar bagaimana menjadi solutif ketika bahan yang diinginkan tidak tersedia—mereka berpikir ulang, berimprovisasi, dan tetap melanjutkan karya mereka tanpa menyerah.

Alinsyah pun tampak bangga. Ia menyaksikan bagaimana anak-anak ini berkembang hanya dalam beberapa jam—dari pengamat menjadi seniman muda yang berani dan penuh ide. “Seni itu bukan soal hasil saja,” katanya, “tapi tentang proses. Dan proses kalian hari ini luar biasa.”

Menjelang siang, kegiatan pun ditutup. Namun semangat para siswa masih menyala. Mereka meminta agar kegiatan seperti ini bisa diadakan lagi, bahkan ada yang berencana membuat instalasi seni di rumah dari daun dan ranting di pekarangan mereka.

Kegiatan belajar seni instalasi dari bahan alami ini bukan hanya menyenangkan, tapi juga penuh makna. Ia mengajarkan anak-anak untuk mencintai alam, memahami seni, dan menggali potensi dalam diri mereka. Tidak heran, lantai hutan Kasuarina hari itu bukan sekadar pasir—ia telah menjadi kanvas tempat kreativitas dan kebahagiaan bertemu.

Dan di sanalah, di bawah naungan pohon kasuarina yang teduh, anak-anak AEL membuktikan bahwa belajar bisa seindah dan sebebas alam.

Oleh: Heri Tarmizi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *