
Pernahkah kamu memperhatikan daun yang melambai-lambai di ranting pohon saat angin sore berhembus lembut? Atau mendengar gemerisik suaranya ketika rintik hujan turun dari langit? Daun—bagian kecil dari pohon yang kadang kita abaikan, ternyata menyimpan kisah luar biasa tentang kehidupan, keberlanjutan, dan keajaiban alam.
Daun bukan hanya sekedar hiasan hijau di ranting, ia adalah dapur tempat seluruh pohon mendapatkan makanan. Ya, daun adalah koki hebat yang setiap hari memasak menggunakan cahaya matahari. Di dalam tubuhnya yang tipis dan hijau, terjadi proses bernama fotosintesis—sebuah keajaiban sains yang membuat kehidupan di bumi terus berlangsung. Melalui proses ini, daun menyerap karbon dioksida dari udara, meminum cahaya matahari, dan mencampurnya dengan air yang disedot dari akar. Hasilnya? Makanan bagi pohon dan oksigen untuk seluruh makhluk hidup, termasuk manusia.
Namun kehebatan daun tak berhenti di sana. Ketika tugasnya selesai, ketika warnanya berubah dan ia perlahan gugur ke tanah, daun masih ingin berguna. Ia tak mengeluh, tak minta dipuji. Ia membusuk perlahan, menjadi humus yang memberi kehidupan baru pada tanah. Daun-daun kering yang tampak remeh itu justru menjadi pupuk alami yang memberi makan kembali akar pohon dan tanaman lain, menjadi rumah bagi jasad renik, cacing, dan mikroorganisme yang tak terlihat namun sangat penting bagi kehidupan.
Di saat hujan deras turun dari langit, daun-daun di atas sana membuka tangannya. Mereka melindungi tanah dari benturan air yang terlalu keras. Mereka menahan laju rintik agar tak melukai bumi. Daun juga berdiri sebagai tameng yang menahan kencangnya angin. Mereka tak bersuara, tapi diam-diam menjaga keseimbangan.
Di Akademi Etika Lingkungan (AEL), kami percaya bahwa belajar tentang alam bukan hanya membaca buku. Maka, kami mengajak anak-anak keluar dari ruang kelas, masuk ke pelukan hutan kecil, dan berkenalan langsung dengan daun. Seorang maestro yang bijak, Kharunisa, membimbing mereka dalam perjalanan mengenal daun dengan metode yang disebut experiential learning—belajar dari pengalaman nyata.
Anak-anak diajak berjalan perlahan, mengamati pohon, memetik beberapa helai daun dengan penuh hormat. Mereka meraba permukaannya, membandingkan yang halus dan yang kasar, mencium aroma segar yang khas, dan melihat betapa beragam bentuk daun di dunia ini—ada yang bulat seperti bulan purnama, ada yang panjang seperti lidah buaya, bahkan ada yang seperti bintang.
Mereka pun belajar tentang tulang daun: ada yang menyebar seperti jaring laba-laba, ada yang menyirip rapi seperti sirip ikan. Setiap bentuk itu punya alasan, punya fungsi, dan punya cerita sendiri. Anak-anak menyusun daun-daun itu di atas kertas, mengeringkannya, dan menjadikannya herbarium—sebuah karya seni yang memadukan sains dan keindahan alam.
Namun, proses tak berhenti sampai di sana. Setiap siswa diminta untuk menceritakan: mengapa memilih daun itu? Apa yang menarik dari bentuk atau warnanya? Dari sinilah pelajaran menjadi lebih dalam. Anak-anak mulai berbicara tentang alasan mereka, mulai dari “daunnya seperti hati,” hingga “warnanya mengingatkanku pada pelukan ibu.” Dan dari situlah mereka belajar satu hal penting—menghargai kehidupan yang sederhana, namun berarti.
Mereka belajar bahwa daun bukan hanya bagian dari tumbuhan, tapi juga bagian dari kehidupan mereka sendiri. Bahwa oksigen yang mereka hirup berasal dari kerja keras daun-daun yang tak pernah lelah. Bahwa tanpa pohon, tanpa daun, tanpa makhluk kecil di tanah, manusia tak akan bisa hidup. Ada rasa kagum yang tumbuh. Ada rasa syukur yang muncul. Anak-anak mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang manusia, tapi tentang semua makhluk yang saling terhubung.
Orang tua yang melihat hasil karya herbarium anak-anak mereka pun ikut terharu. Mereka melihat bahwa pendidikan tak hanya soal angka atau prestasi, tapi tentang membentuk hati yang peka, jiwa yang penuh kasih, dan pikiran yang peduli pada lingkungan.
Akhir dari perjalanan kecil itu bukan hanya selembar kertas berisi daun kering, tapi kesadaran baru dalam diri anak-anak: bahwa mereka adalah bagian dari ekosistem, bahwa mereka punya tanggung jawab menjaga bumi ini.
Dan di balik semua pelajaran itu, ada satu pesan yang kami tanamkan dengan lembut di hati mereka:
“Bersyukurlah, karena Allah telah menciptakan dunia ini dengan sempurna—penuh warna, penuh kehidupan, saling menyatu, saling melengkapi. Dan tugas kita, manusia, adalah menjaganya dengan cinta dan rasa hormat.”
Maka, lain kali ketika kamu melihat daun jatuh dari pohon, jangan anggap itu akhir dari hidupnya. Itu adalah awal dari perjalanannya yang baru—kembali ke bumi, memberi hidup yang lain. Sama seperti kita, yang terus belajar, tumbuh, dan memberi manfaat untuk dunia.
Oleh: Heri Tarmizi