
Pagi itu, matahari hari Minggu terasa hangat memeluk bumi, memancarkan sinarnya yang lembut di halaman kantor Akademi Etika Lingkungan (AEL). Jam menunjukkan pukul delapan pagi ketika satu per satu anak-anak datang, diantar oleh orang tua yang berjalan santai namun hangat dalam sapaan. Tak ada gegap gempita, tapi suasana itu terasa hidup—penuh energi, tawa, dan harapan.
Anak-anak, para siswa Akademi Etika Lingkungan, muncul dengan semangat yang terpancar dari langkah-langkah kecil mereka. Lengkap dengan ransel kecil di punggung, sepatu lapangan yang sudah tak baru lagi, baju lengan panjang untuk perlindungan dari sengat matahari dan serangga, serta topi kain yang menjuntai bayangannya di wajah. Mereka saling menyapa, memanggil nama satu sama lain—beberapa bahkan melompat kecil sambil tertawa renyah, seolah jarak tujuh hari sejak pertemuan terakhir adalah rindu yang tak tertahankan.
Di sudut lain halaman, para orang tua ikut larut dalam obrolan hangat bersama para penggerak forest school AEL. Mereka bukan sekadar mengantar anaknya ke sekolah, tetapi hadir sebagai bagian dari ekosistem pembelajaran itu sendiri—berbagi cerita, nilai, dan semangat mendidik anak melalui alam. Di antara mereka, ada senyum bangga dan mata yang berbinar: anak-anak mereka sedang tumbuh menjadi manusia yang menyatu dengan bumi.
Hari itu adalah sesi keempat sejak AEL diluncurkan, dan temanya sangat khas: Eksplorasi Hutan dan Dasar Bertahan Hidup di Alam. Meskipun baru empat kali bertemu, para siswa sudah terlihat memiliki bonding yang kuat. Seperti keluarga kecil yang dibentuk oleh tanah, angin, pohon, dan api. Mereka saling melengkapi, saling menyemangati, saling tertawa dan sesekali saling membantu mengikat tali ransel yang terlepas.
Di sesi ini, tiga keterampilan utama menjadi fokus: mendirikan tenda, membuat api, dan memasak. Bukan hanya sebagai keterampilan teknis, tetapi sebagai simbol dari kemampuan bertahan, hidup berkelompok, dan mengenal batas-batas kekuatan serta kelemahan diri.
Di bawah naungan pohon casuarina ditepian danau kecil, fasilitator mulai memperkenalkan simpul tali. Anak-anak duduk berbaris, tangan mereka sibuk memutar, mengikat, dan melepaskan tali-tali rafia. “Ini namanya simpul pangkal,” ucap sang fasilitator, “simpul ini bisa menolong kalian ketika membuat tenda, atau saat butuh mengikat barang.”
Beberapa anak tampak kesulitan, tali lepas dari genggaman atau kusut. Tapi tidak ada yang menyerah. Mereka mencoba lagi, saling bertanya, dan ketika satu anak berhasil, yang lain berseru kagum, “Wow, keren! Ajarin dong!”
Dari simpul tali, mereka melangkah ke tantangan berikutnya: membuat tenda menggunakan flysheet. Sekilas terlihat sederhana, tetapi di balik kegiatan itu terselip pelajaran penting tentang koordinasi, kerjasama, dan tanggung jawab. Tenda tidak akan tegak hanya oleh satu orang. Mereka harus mengukur jarak, mengatur ketegangan tali, membagi tugas, dan mencari kayu sebagai tiang. Di balik tawa dan riuh rendah, ada keterampilan yang diam-diam tumbuh: teamwork dan resiliensi.
Sesi selanjutnya lebih menantang: membuat api. Tidak ada korek, tidak ada kompor. Hanya fire starter, ranting kering, dan daun-daun gugur yang dikumpulkan dari hutan sekitar. Anak-anak belajar bahwa api bukan sekadar nyala, tapi hasil dari kesabaran, pengamatan, dan kerja tim.
Saat api kecil mulai muncul dari tumpukan daun dan kayu kering, seruan kegembiraan meletup seperti kembang api. “Hidup api!” teriak salah satu anak. Di wajah mereka, ada kebanggaan, ada pencapaian. Mereka baru saja menciptakan nyala kehidupan dengan tangan mereka sendiri.
Dan ketika api telah cukup stabil, mereka melanjutkan sesi memasak sederhana: merebus telur. Tapi sebelum itu, ada permainan kecil penuh makna. Telur disebar di beberapa titik hutan, masing-masing berjumlah satu, dua, atau tiga. Aturannya: setiap kelompok hanya boleh mengambil satu butir telur dari setiap titik. Jika mereka menemukan titik dengan satu butir telur, mereka harus membiarkannya.
Permainan ini bukan hanya tentang menemukan dan mengambil. Ini adalah pelajaran tersembunyi tentang etika dan kelestarian alam. “Anggaplah telur itu adalah telur ayam hutan,” jelas fasilitator. “Kalau kamu ambil semua, ayamnya tidak bisa berkembang biak. Tapi kalau kamu ambil secukupnya, ekosistem tetap berjalan, dan kamu pun bisa hidup.”
Pelajaran ini menghujam dalam. Anak-anak mulai belajar bahwa bertahan hidup bukan hanya soal keterampilan, tapi juga soal etika. Bahwa hidup berdampingan dengan alam bukan berarti menguasainya, tapi menjaga keseimbangannya.
Siang mulai menjelang, aroma telur rebus mengepul dari wadah-wadah kecil. Anak-anak duduk melingkar di bawah tenda buatan mereka sendiri, menikmati hasil kerja keras dan kerjasama mereka. Tidak ada makanan mewah, tapi suasana itu terasa seperti pesta kecil penuh makna.
Di tengah suara tawa dan obrolan, terlihat jelas satu hal: anak-anak ini sedang tumbuh, bukan hanya dalam tinggi badan, tapi dalam jiwa dan kesadaran. Mereka belajar bahwa dunia tidak selalu nyaman, bahwa risiko itu nyata, dan bahwa mereka mampu menghadapinya.
“Di sini,” ujar salah satu fasilitator, “anak-anak tidak dijauhkan dari risiko. Mereka dikenalkan pada risiko. Mereka belajar menghadapi, bukan menghindari. Karena dunia luar nanti, tidak akan selalu ramah. Tapi jika mereka punya kemampuan bertahan, bekerja sama, dan berpikir bijak, maka mereka akan baik-baik saja.”
Sore hari, ketika matahari mulai condong ke barat dan angin membawa aroma tanah yang dipanaskan cahaya siang, anak-anak mulai bersiap pulang. Topi mereka agak miring, sepatu penuh tanah, tangan sedikit kotor, tapi senyum mereka… ah, senyum mereka bersinar seperti api kecil yang tadi mereka nyalakan.
Orang tua yang menunggu menyambut dengan pelukan, sementara anak-anak bercerita dengan semangat yang nyaris tak terbendung. Tentang tali simpul, tentang telur, tentang tenda yang sempat roboh lalu berdiri lagi. Dan tentang nyala api kecil yang memberi kehangatan dan pelajaran besar.
Minggu itu berakhir bukan sebagai hari libur biasa. Ia menjadi kisah. Jejak. Pengalaman hidup.
Karena di Akademi Etika Lingkungan, anak-anak bukan hanya belajar bertahan. Mereka belajar hidup.
Oleh: Heri Tarmizi