
Pagi itu, udara Banda Aceh masih terasa segar. Di Terminal Keudah, sekelompok siswa Akademi Etika Lingkungan (AEL) berkumpul dengan wajah penuh antusias. Mereka bukan sekadar menunggu bus, melainkan menunggu sebuah pengalaman yang sederhana namun sarat makna: belajar tentang transportasi publik melalui perjalanan nyata bersama Transkutaraja.
Bus yang akan membawa mereka ke Darussalam bukanlah kendaraan biasa. Di mata anak-anak, ia adalah ruang belajar bergerak, tempat cerita tentang polusi, kemacetan, dan mimpi kota yang lebih ramah lingkungan mengalir tanpa terasa kaku. Rute yang akan mereka lalui sekitar 30 menit perjalanan, melewati 10 halte utama, menyisakan cukup waktu untuk mengenal bukan hanya jalanan, tetapi juga wajah-wajah kota yang mereka cintai.
Sebelum bus berangkat, para siswa diperkenalkan dengan konsep transportasi publik. Ada yang tampak serius mendengarkan, ada juga yang sesekali bertanya dengan polos. “Kalau semua orang naik bus, jalanan tidak macet ya, Kak?” tanya seorang siswa dengan mata berbinar. Pertanyaan sederhana itu sesungguhnya menyimpan jawaban besar tentang krisis mobilitas perkotaan.
Transportasi publik seperti Transkutaraja adalah salah satu solusi paling nyata dalam menekan emisi karbon dan gas rumah kaca. Dengan satu bus, puluhan orang bisa diangkut sekaligus, sehingga jumlah kendaraan pribadi di jalan berkurang drastis. Setiap motor dan mobil yang berkurang berarti ada napas lega bagi udara kota.
Anak-anak diajak membayangkan: apa jadinya jika semua orang tetap memilih sepeda motor? Jalanan penuh asap, polusi menyelimuti udara, dan suara knalpot menjadi latar kehidupan sehari-hari. “Asapnya bikin batuk-batuk,” celetuk seorang siswa sambil menutup hidungnya pura-pura. Tawa pun pecah, tapi di balik canda itu ada kesadaran yang mulai tumbuh.
Ketika bus Transkutaraja akhirnya berangkat, suasana di dalam bus terasa hidup. Anak-anak duduk berjajar, sebagian sibuk melihat ke luar jendela, sebagian lagi saling berbagi cerita. Dari Terminal Keudah hingga menuju Darussalam, mereka melewati deretan toko, pepohonan, dan persimpangan kota.
“Kalau hujan, naik bus lebih enak, kita nggak basah,” kata seorang siswa dengan penuh keyakinan. Yang lain menimpali, “Iya, naik bus juga seru, soalnya rame-rame.” Percakapan kecil ini terdengar sederhana, tetapi sejatinya mencerminkan betapa transportasi publik bisa dipahami anak-anak bukan hanya sebagai moda perjalanan, tetapi juga sebagai ruang sosial—tempat kebersamaan menemukan makna.
Di setiap halte yang dilewati, mereka belajar tentang konsep jaringan transportasi. Bahwa setiap titik berhenti bukan hanya sekadar tempat menunggu, melainkan simpul dari sebuah sistem yang menghubungkan orang dengan tempat, keluarga dengan pekerjaan, dan anak-anak dengan sekolahnya.
Di sela perjalanan, fasilitator memberikan penjelasan ringan tentang emisi karbon. Kata “emisi” mungkin terdengar rumit, tetapi ketika dijelaskan dengan bahasa anak-anak, semuanya menjadi sederhana.
“Bayangkan kalau bumi ini punya paru-paru. Setiap asap kendaraan masuk ke paru-paru itu. Kalau terlalu banyak asap, buminya jadi batuk-batuk, sama seperti kita kalau menghirup asap knalpot.”
Penjelasan itu membuat beberapa siswa terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Mereka mulai memahami bahwa pilihan transportasi bukan sekadar soal nyaman atau tidak nyaman, tetapi juga soal bagaimana menjaga kesehatan bumi.
“Kalau begitu, lebih baik kita naik bus daripada motor, ya?” tanya seorang siswa. Pertanyaan itu seakan menjadi kesimpulan spontan dari diskusi mereka sendiri.
Perjalanan ini juga menjadi ruang untuk membicarakan aspek keamanan dan kenyamanan transportasi publik. Anak-anak diajak merasakan langsung bagaimana duduk di kursi yang empuk, berjalan di lorong bus yang luas, hingga melihat pengemudi yang sabar menjalankan bus di tengah lalu lintas.
Ada perasaan aman karena tidak perlu menyalip kendaraan, tidak khawatir hujan atau panas, dan tidak terjebak dalam kerumunan kendaraan kecil. Mereka belajar bahwa transportasi publik modern dirancang bukan hanya untuk efisiensi, tetapi juga untuk menghadirkan rasa nyaman bagi semua orang.
Hal paling menarik dari perjalanan singkat ini adalah suara anak-anak sendiri. Dari komentar polos hingga imajinasi mereka tentang masa depan kota, semuanya menjadi cermin bahwa kesadaran lingkungan tidak harus diajarkan dengan cara yang berat.
“Aku ingin kalau besar nanti, orang-orang lebih sering naik bus biar jalan nggak macet,” ujar seorang siswa. Yang lain menambahkan, “Kalau banyak bus, udara jadi bersih dan orang nggak sakit.”
Dari obrolan ringan itu, kita belajar satu hal: anak-anak sebenarnya sudah memiliki benih pemikiran ekologis. Yang mereka butuhkan hanyalah ruang untuk mengekspresikan, mendiskusikan, dan menghubungkan pengalaman sehari-hari dengan pengetahuan yang lebih luas.
Perjalanan 30 menit dengan Transkutaraja mungkin terlihat singkat, namun bagi siswa AEL, ia adalah kelas berjalan. Setiap halte yang dilewati menjadi halaman buku, setiap percakapan menjadi catatan, dan setiap tarikan napas di dalam bus menjadi pengingat tentang pentingnya menjaga udara tetap bersih.
Di akhir perjalanan, anak-anak tidak hanya turun dengan wajah gembira, tetapi juga membawa pulang pemahaman baru: bahwa transportasi publik bukan sekadar alat untuk berpindah tempat, melainkan salah satu kunci untuk menjaga bumi tetap hidup.
Perjalanan dengan Transkutaraja bersama siswa Akademi Etika Lingkungan (AEL) adalah contoh sederhana namun indah tentang bagaimana pendidikan bisa dibawa keluar dari kelas, masuk ke jalanan, dan hidup dalam pengalaman nyata.
Di balik tawa anak-anak, terselip kesadaran yang perlahan tumbuh: bahwa setiap pilihan kecil, seperti memilih bus daripada motor, dapat menjadi langkah besar dalam menyelamatkan bumi dari polusi dan emisi.
Mungkin mereka masih anak-anak, tapi dari bibir mereka keluar kata-kata yang mengingatkan kita semua: jika ingin udara bersih, mulailah dengan cara yang sederhana—naik bus bersama-sama.
Oleh: Heri Tarmizi