
Di Akademi Etika Lingkungan (AEL) Forest School, belajar tidak melulu duduk di kelas dan mendengarkan ceramah. Kali ini, para siswa AEL diajak untuk benar-benar menyentuh tanah, melihatnya lebih dekat, dan merasakan bagaimana kehidupan dimulai dari sana.
Tanah bukan hanya sekadar tempat berpijak—tanah adalah asal mula kehidupan. Dalam ekologi, tanah adalah rumah bagi jutaan organisme, tempat tumbuhnya tanaman, dan penyaring alami air. Dalam geologi, tanah terbentuk dari proses panjang pelapukan batuan, bercampur dengan sisa-sisa organik. Dan secara teologis, kita mengenal bahwa manusia pertama, Nabi Adam, diciptakan oleh Tuhan dari tanah. Ketika kita meninggal pun, kita akan kembali ke tanah. Begitu dalam makna tanah bagi kehidupan manusia.
Fakta menarik, sekitar 10% dari volume Bumi adalah tanah (Sumber: FAO, 2021), dan lapisan paling atas—yang sering disebut sebagai topsoil—sangat berperan penting dalam mendukung kehidupan. Lapisan ini terbentuk dari humus, yaitu sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang membusuk dan menjadi sumber nutrisi utama bagi tanaman. Di sanalah para siswa AEL belajar melihat struktur tanah, mengenali jenis tanaman yang tumbuh di atasnya, dan mengamati jasad renik serta hewan kecil seperti cacing yang tinggal di dalamnya.
Tak hanya itu, siswa juga diperkenalkan dengan konsep grounding—sebuah praktik menyentuh langsung tanah dengan kaki telanjang. Studi menunjukkan bahwa grounding bisa mengurangi stres, meningkatkan kualitas tidur, menstabilkan detak jantung dan ritme sirkadian, serta menurunkan peradangan dalam tubuh (Chevalier et al., Journal of Environmental and Public Health, 2012). Berjalan tanpa alas kaki di atas tanah ternyata punya manfaat besar bagi kesehatan, baik fisik maupun mental.
Namun, mengenal tanah tak lengkap tanpa memahami ancaman yang dihadapi tanah saat ini. Para siswa belajar bahwa sampah plastik yang sulit terurai, penebangan pohon secara liar, dan penggunaan bahan kimia berlebihan di pertanian adalah penyebab utama rusaknya tanah. Ketika tanah rusak, air tanah bisa tercemar, tanah kehilangan kemampuan menyerap air, dan bencana seperti banjir serta longsor menjadi lebih sering terjadi.
Dari proses pembelajaran ini, siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan, tapi juga menumbuhkan rasa empati dan kesadaran untuk menjaga lingkungan. Mereka mulai memahami bahwa menjaga tanah berarti menjaga masa depan. Dalam pendekatan AEL, pembelajaran dilakukan dengan konsep hexadogi—yang menekankan nilai-nilai etika, spiritualitas, dan kebijaksanaan—serta metode experiential learning, yaitu belajar langsung dari pengalaman.
Lewat menyentuh tanah, memijak bumi, dan mendengar suara hening dari dalam hutan, para siswa belajar satu hal penting: Bumi bukan hanya tempat tinggal, tapi juga ibu yang harus dijaga.
Oleh: Heri Tarmizi