Mengenal Pangan Lokal sebagai Bentuk Resilience untuk Siswa Akademi Etika Lingkungan

Pendidikan etika lingkungan memiliki peran penting dalam menanamkan kesadaran ekologis sekaligus melestarikan pengetahuan lokal yang mulai terpinggirkan. Salah satu pendekatan strategis yang diterapkan di Akademi Etika Lingkungan adalah pengenalan sumber pangan alami kepada siswa, terutama anak-anak usia sekolah. Para siswa diajak untuk mempelajari jenis-jenis makanan yang berasal langsung dari alam, seperti buah-buahan, umbi-umbian, dedaunan, kacang-kacangan, dan biji-bijian. Mereka juga dikenalkan pada cara konsumsi—apakah makanan tersebut dapat dimakan langsung, harus dimasak terlebih dahulu, atau melalui proses khusus sebelum aman dikonsumsi.

Di era modern ini, kemudahan dalam mengakses makanan olahan dan instan telah menyebabkan generasi muda kehilangan hubungan langsung dengan alam sebagai penyedia makanan. Anak-anak lebih mengenal makanan dalam kemasan atau dari restoran cepat saji ketimbang buah-buahan atau tanaman pangan liar yang tumbuh di sekitar mereka. Perubahan pola konsumsi ini berdampak pada menurunnya pengetahuan tentang keragaman pangan lokal dan bagaimana memperoleh serta memanfaatkannya dari alam (Kuhnlein et al., 2009).

Akademi Etika Lingkungan mengajarkan kembali kepada siswa pentingnya mengenali tanaman liar yang bisa menjadi sumber makanan. Misalnya, buah sukun (Artocarpus altilis) yang banyak tumbuh di wilayah tropis Indonesia, merupakan sumber karbohidrat tinggi yang bisa dimasak dengan cara digoreng, direbus, atau dipanggang. Sukun sudah lama dikenal sebagai makanan pokok alternatif di berbagai daerah, termasuk di Pulau Jawa, Maluku, dan Papua (Ragone, 2006).

Selain buah-buahan seperti sukun dan pisang hutan (Musa spp.), siswa juga dikenalkan pada kacang-kacangan seperti kacang tanah (Arachis hypogaea) dan kedelai (Glycine max). Kacang tanah sangat populer di Indonesia sebagai camilan, pelengkap masakan, atau bahan dasar bumbu pecel. Ia kaya akan protein nabati dan lemak sehat. Sementara itu, kedelai menjadi sumber pangan utama dalam bentuk tempe, tahu, dan susu kedelai. Produk olahan kedelai juga berperan penting dalam pola makan sehat yang berbasis protein nabati dan menjadi alternatif pengganti protein hewani.

Tak ketinggalan, siswa juga diajak mengenal biji-bijian alami seperti biji nangka (Artocarpus heterophyllus) yang bisa direbus sebagai camilan bernutrisi, atau biji sukun yang kadang dimanfaatkan secara lokal sebagai pakan maupun konsumsi manusia. Biji-bijian seperti ini sangat kaya serat dan mineral dan bisa menjadi sumber pangan alternatif yang terabaikan.

Pentingnya mengenal tanaman pangan liar juga diperkuat oleh temuan Bharucha & Pretty (2010) yang menyatakan bahwa lebih dari satu miliar orang secara global memanfaatkan sumber makanan liar yang berperan penting dalam ketahanan pangan rumah tangga. Buah-buahan liar, umbi, dan biji-bijian tidak hanya menyediakan zat gizi penting, tetapi juga membantu masyarakat bertahan di tengah perubahan iklim dan ketidakpastian ekonomi.

Dalam proses pembelajaran, siswa diajak langsung ke lapangan: menjelajahi hutan, kebun, dan pekarangan desa untuk mengenal berbagai spesies tanaman pangan lokal. Mereka belajar mengidentifikasi ciri morfologi tanaman, habitat tumbuhnya, musim berbuah, serta cara pengolahan dan konsumsi yang aman. Misalnya, umbi gadung (Dioscorea hispida) yang banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, harus direndam dan dimasak terlebih dahulu untuk menghilangkan racunnya. Sementara itu, daun kelor (Moringa oleifera), yang biasa ditemukan di halaman rumah warga, kaya akan vitamin A dan zat besi dan dapat dimasak sebagai sayur bening atau dibuat menjadi serbuk nutrisi (Glew et al., 1995).

Melalui interaksi langsung dengan alam dan masyarakat lokal, siswa memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang keterkaitan antara sumber daya alam dan kehidupan manusia. Pendekatan ini sejalan dengan model experiential learning yang dikembangkan oleh Kolb (1984), di mana pengalaman nyata menjadi dasar pembelajaran yang bermakna.

Lebih jauh lagi, pengenalan sumber pangan alami mendukung upaya konservasi keanekaragaman hayati. Ketika anak-anak mengetahui bahwa pohon sukun, daun kelor, atau kacang tanah memiliki manfaat pangan, mereka akan lebih terdorong untuk menjaga dan melestarikannya. Hal ini juga sejalan dengan prinsip ekologi tradisional masyarakat adat, di mana sumber pangan alami dijaga sebagai bagian dari warisan budaya dan identitas lokal (Turner et al., 2011).

Dari sisi kesehatan, mengonsumsi pangan alami seperti buah segar, daun, biji, dan umbi-umbian memiliki manfaat signifikan dalam mencegah penyakit metabolik. Sebaliknya, ketergantungan pada makanan olahan yang tinggi gula, garam, dan lemak jenuh telah dikaitkan dengan meningkatnya risiko obesitas, diabetes, dan hipertensi pada anak-anak (Popkin et al., 2012). Oleh karena itu, memperkenalkan kembali makanan alami merupakan bagian dari pendidikan gizi dan kesehatan preventif yang sangat dibutuhkan generasi sekarang.

Selain aspek ekologi dan kesehatan, pendekatan ini juga mengajarkan nilai-nilai etika seperti menghargai proses produksi makanan, tidak menyia-nyiakan makanan, serta membangun rasa tanggung jawab terhadap alam. Anak-anak belajar bahwa makanan tidak datang secara instan dari toko, tetapi melalui proses alami yang panjang dan memerlukan keseimbangan ekosistem yang sehat.

Kesimpulan, pengenalan buah-buahan, umbi-umbian, dedaunan, kacang-kacangan seperti kacang tanah dan kedelai, serta biji-bijian alami dalam pendidikan etika lingkungan adalah langkah penting dalam mengembalikan hubungan anak-anak dengan alam. Upaya ini tidak hanya memulihkan pengetahuan pangan tradisional, tetapi juga membentuk generasi yang sadar gizi, peduli lingkungan, dan tangguh (resilient) dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Oleh: Heri Tarmizi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *